Laman

Selasa, 10 Januari 2012

Indonesia di Era Sistem Demokrasi Pancasila (1966-1998)



Demokrasi pancasila dimulai dari orde baru yang dicikal bakali oleh salah satu kejadian sejarah penting yaitu super semar yang merupakan surat dari Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil tindakan kepemerintahan Negara Republik Indonesia, dengan salah satu tugasnya mengbubarkan PKI dengan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Yang akhirnya memberi gelar kepada Soeharto sebagai pahlawan revolusi dan mempermudah jalannya menjadi Presiden Indonesia setelah ditunjuk oleh A. H. Nasution tanggal 12 Maret 1967 pada sidang istemewa MPRS, setahun kemudian.

Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila dilakukan sebuah penyederhanaan sistem kepartaian. Kemudian muncul lah kekuatan yang dominan yaitu golongan karya (Golkar) dan ABRI. Pemilu berjalan secara periodik sesuai dengan mekanisme, meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan dan masih diwarnai adanya intrik-intrik politik tertentu.

Soeharto dilantik secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara berturut-turut tidak lepas dari kebijakan represifnya yang menekan rakyat agar memilih Partai Golongan Karya yang berkuasa ketika itu, ketimbang memilih partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan Pembangunan. Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya. Barangsiapa yang ketahuan memilih kedua partai itu akan dipecat dari pekerjaannya, dipenjarakan, atau bahkan yang paling buruk akan dihilangkan secara paksa demi kelanggengan kekuasaan Cendana.

Kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah kontrol pemerintah. Kemenangan Golkar ini mengantarkan Golkar menjadi partai hegemoni yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim orde baru untuk mendominasi semua proses sosial dan politik.

Partai politik dan media massa pada mulanya diberi kebebasan untuk melancarkan kritik dengan mengungkapkan realita dalam masyarakat. Sejalan akan makna demokrasi pancasila sebagai sistem pemerintahan yang mengacu pada suatu pemerintahan dari rakyat yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, dan mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Namun sejak dibentuknya format yang baru dituangkan dalam UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD menggiring masyarakat Indonesia ke arah otoritarian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengisian seperti anggota MPR dan seperlima anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung oleh Presiden tanpa melalui Pemilu. Hal ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas politik yang pada gilirannya akan menciptakan stabilitas keamanan sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang tidak ditangani secara serius pada masa demokrasi terpimpin.

Selama orde baru, pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan media massa berada pada kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh mekanisme reccal, sementara partai politik tidak mempunyai otonomi internal. Media massa selalu dibayang-bayangi pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Sedangkan rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial politik tanpa izin dari pemerintah. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan kontrol dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah yang sangat dominan. Praktek demokrasi pancasila pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, bahkan cenderung ke arah otoriatianisme atau kediktatoran.

Warga keturunan Tionghoa adalah warga yang paling merasakan sisi negatif dari pelaksanaan demokrasi pancasila dalam pemerintahan Soekarno, dimana mereka dilarang berekspresi dengan bebas. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai dilarang, hari raya Imlek dilarang dirayakan, dan Bahasa Mandarin dilarang diucapkan atau disastrakan. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Bentuk-bentuk ketidak selarahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut terjadi akibat kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya check and balance, akibat terpolanya politik kompromistis dari elite politik. Demokrasi menjadi semu. DPR tidak mencerminkan wakil rakyat yang sesungguhnya. Terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di segala bidang kehidupan, karena kekuasaan cenderung ke arah oligarki.

Indonesia yang dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis nasional. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.

Semua itu akibat berawal dari kebijakan pemerintah akan pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1968) dan juga melalui pinjaman luar negeri (foreing loan) dan bantuan luar negeri (foreing aid). Mengakibatkan pula kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.

Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, menghancurkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, etika politik, moral, hukum dasar-dasar demokrasi dan sendi-sendi keagamaan. Khususnya di bidang politik direspon oleh masyarakat melalui kelompok-kelompok penekan (pressure group) yang mengadakan berbagai macam unjuk rasa yang dipelopori oleh para pelajar, mahasiswa, dosen, dan praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demontrasi yang menyuarakan reformasi semakin kuat dan semakin meluas. Di tengah gejolak kemarahan massa, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Sumber data penulisan :
Demokrasi Pancasila (Deskripsi Konsep Demokrasi di Indonesia pada Masa Republik Indonesia III), http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_21/ppkn203_07.htm. Terakhir di unduh pada tanggal 08 Mei 2011.

Makalah Pendidikan Pancasila. Oleh, Bang. Ares.
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: PT Sinar Baru.

Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar